Agenda : Pameran Tunggal Fotografi dan Instalasi Raphael Blum

Galeri Nasional Indonesia akan menyelenggarakan Pameran Tunggal karya-karya seniman Perancis, Raphael Blum. Karya yang akan ditampilkan terdiri dari karya fotografi dan instalasi.

Pameran akan diselenggarakan sejak tanggal 9 hingga 16 Agustus  bertempat di Gedung C Galeri Nasional, Jalan Merdeka Timur 14 Jakarta Pusat. Sementara pembukaan akan diselnggarakan pada tanggal 8 Agustus 2014 pada pukul 19.30.

Pameran ini terbuka untuk umum dari hari Senin sampai Jumat mulai jam 08.00 hingga 16.00 WIB.


PENGANTAR KURATORIAL

“SERUPA TAPI TAK SAMA: TYPOLOGY POTRET RAPHAEL BLUM”

oleh : Alexander Supartono (Sejarawan and Kurator Fotografi)

Seri potret Raphael Blum dalam pameran ini membawa kita pada refleksi atas tradisi potret di Indonesia. Sejak pertengahan abad 19, dengan fasilitas jaringan kolonial, fotografer Eropa berkililing memotret warga tanah jajahan sebagai bagian dari ekspidisi ilmiah maupun untuk tujuan komersial. Yang pertama hasilnya kita kenal dengan nama foto anthropometric (potret dengan latar penggaris), yang kedua hasilnya kita lihat di kartu pos (carte de visite) atau ilustrasi majalah. Kalau foto anthropometric dipakai untuk membuktikan keabsahan anthropologi fisik (physical anthropology) dimana strata manusia disusun berdasarkan tipe-tipe rasialnya, munculnya wajah-wajah pribumi di kartu pos adalah pemenuhan rasa keingintahuan warga metropolitan di Barat. Pada masanya, kartu pos ini populer sebagai cendera mata eksotis sekaligus menyimbolkan status sosial pemiliknya. Baik untuk tujuan ilmiah maupun komersial, sebagaimana dijabarkan Edward Said dengan gemilang, potret-potret ini adalah bagian dari usaha Barat (oxidant) menciptakan pengetahuan tentang Timur (Orient), untuk mengukuhkan identitas mereka yang superior atas Timur dengan menciptakan sang “liyan” (the other).

Pada perkembangannya, tradisi potret ini turut berperan memvisualisasikan gagasan kebangsaan dan kewarganegaraan di era paska kolonial. Kita melihat atribut-atribut estetis potret colonial (pose, komposisi, pencahayaan, dramatisasi) dimanfaatkan untuk memformulasikan identitas manusia merdeka. Keseragaman bentuk potret ini difungsikan sebagai pemersatu, menjauhkan manusia-manusia Indonesia dari identitas-identitas primordial.

Di depan kamera semua sama dan setara sebagaimana jelas termanifestasi dalam “pas foto 3x4”. Kamera menjadi medium emansipasi.

Lalu kita bertanya, bagaimana potret paska kolonial yang emansipatif ini membedakan diri dari potret kolonial yang opresif itu jikalau masih berkelindan dalam lingkup tradisi estetis yang sama? Bagaimana pranata visual (visual tools) potret yang di masa kolonial dipakai untuk meng-obyek-an (objectifying) dan meng-eksotis-kan (exoticizing) sang “liyan” di adopsi dalam karya-karya kontemporer? Kolase atau montase (baik manual atau photoshop) adalah strategi artisitk yang populer dipakai fotografer kontemporer untuk membaca ulang pola (patern) dan manerisme fotografis dari potret kolonial. Mereka membangun apropriasi berdasarkan material sejarah secara langsung dan memberi makna baru dengan membolakbalik konteks awal dari pembuatan potret-potret kolonial itu.

Seri potret Blum dari dari Ambon dan Sumatera Utara ini adalah juga usaha memberikan makna baru atas tradisi potret yang berkembang di masa kolonial. Blum berangkat dari kesadarannya atas sejarah kolonial sehingga Ambon dan Sumatera Utara bukanlah pilihan acak. Rempah di kepulauanMaluku adalah undangan atas gelombang kolonialisme pertama di abad 16. Sedangkan perkebunan tembakau Sumatera Utara adalah salah satu puncak keberhasilan agroindustry kolonial di Hindia Belanda di abad 19. Dari sinilah daun tembakau dan biji cengkeh masuk ke ruang pamer sebagai simbol geografis titik awal dan puncak ekonomi kolonial.

Di Eropa, imaji popular Ambon dan Sumatera Utara di masa-masa kejayaan imperialisme adalah adalah produk perkebunan kolonial maupun oleh studio foto komersial. Rempah,tembakau dan potret eksotis penduduk asli adalah komoditi yang membentuk pengetahuan tentang koloni, dimana penduduk asli digambarkan terpisah dari industrialisasi yang berlangsung di tanah mereka. Mereka direpresentasikan seturut keinginan pasar di Eropa, terklasifikasi dalam etnis-etnis primordial, bukan masyarakat yang termodernisasi oleh kolonialisme.

Di seri potret ini, Blum juga berangkat dan memakai strategi klasifikasi dan pendefinisian sang “liyan”. Karena dia tahu, sebagai orang “luar” (outsider), dalam proyek fotografis semacam ini, mau tidak mau dia akan berurusan dengan fungsi ortodok fotografi dalam mengkatalogkan manusia. Karena sebarapa jauhpun dia masuk ke dalam keunikan setiap invidu, pada akhirnya dia akan menyusun potret-potret itu dalam tatanan tertentu. Dan di sini Blum menunjukkan bahwa pengkategorian tidak selalu berarti pengobyekan, ketika dia memasukkan unsur sejarah dan “rasa” dalam pengalamannya berinteraksi dengan subyek-subyek terpotretnya.

Dari “rasa”, Blum melihat keanekaragaman dan mengenali ketakterdugaan, sambil secara simbolis merefleksikan peran kontemporer cengkeh dan tembakau di dalam masyarakatnya.Sehingga tipologi yang dia susun atas penduduk Ambon tidak masuk dalam sterotipikal populer tentang mereka. Mereka menjadi sama dalam kategori sosialnya, tapi setiap individu berbeda tampilan visual dan ekspresi individualnya. Hal yang sama juga kita rasakan dari seri potret dari Berastagi, terutama pada peserta karnaval tujuhbelasan itu. Paradoks serupa tapi tak sama ini terbangun dari pemilihan latar (backdrop) dan pendekatan visual keseharian (vernacular approach) yang dipilih Blum. Latar itu memberikan indikasi lingkup sosial dari masing-masing individu karena dipilih tidak berjauhan dari tempat dimana Blum betemu mereka. Namun pada saat yang sama, latar itu juga tidak terlalu dominan, beberapa bahkan tampak netral, sehingga individualitas mereka muncul ke permukaan. Hal ini juga membuktikan keberhasilan Blum membangun relasi dengan subyek-subyeknya sehingga mereka merasa nyaman berpose dan dengan percaya diri menatap balik pada kamera.

Sedangkan pendekatan visual keseharian itu menghilangkan unsur dramatisasi dari potret-potret ini. Pencahayaan dan pembingkaian (framing) yang bersahaja memberi jalan pada kehadiran setiap individu di depan kamera. Secara teknis, ini adalah pilihan estesis yang beresiko karena kualitas visual yang disediakan fotografi dipakai seminimal mungkin. Namun kekuatan seri potret Blum ini tidak dibangun dari visual yang sensasional, tapi dari kerbesahajaaanya menangkap, ke-aneka-rasa-an sensasi-sensasi visual dari individu-individu itu.